Sabtu, 09 November 2013

Analisis terhadap putusan Mahkamah Konstitusi no. 2/PUU-IX/2011 tentang perkara pengujian UU No. 18 tahun 2009 tentang peternakan dan kesehatan hewan terhadap Undang-Undang Dasar 1945 hasil amandment

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar belakang
Sejarah institusi yang berperan melakukan kegiatan “constitutional review” di dunia berkembang pesat melalui tahap-tahap pengalaman ayng beragam di setiap negara. Ada yang melembagakan fungsi pengujian konstitusional itu dalam lembaga aygn tersendiri bernama Mahkamah Konstitusi. Ada pula yang mengaitkan fungsi itu kepada lembaga yang sudah ada, yaitu Mahkamah Agung. Kehadiran sistem pengujian ini ataupun mekanisme ‘judicial review’ yang terus berkembang dalam praktik di berbagai negara demokrasi, pada umumnya, disambut baik di dunia akademis maupun praktis, bahkan tidak kurang oleh lingkungan cabang kekuasaan kehakiman sendiri (judiciary). Seperti dikemukakan oleh Lee Bridges, George Meszaros, dan Maurice Sunkin : “judicial review has been increasingly celebrated, not least by the judiciary itself, as means by which the citizen can obtain redress against oppressive government, and as a key vehicle for enabling the judiciary to prevent and check the abuse of executive power[1]. Pada umumnya, mekanisme pengujian hukum ini diterima sebagai cara negara hukum modern mengendalikan dan mengimbangi (check and balances) kecenderungan kekuasaan yang ada di genggaman para pejabat pemerintahan untuk menjadi sewenang-wenang.
Haruslah dibedakan antara judicial review dan constitutional review. Judicial Review lebih luas dari Constitutional Review, karena objek yang diujinya tidak hanya mengenai produk hukum berbentuk undang-undang, tetapi mencakup pula peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang. Akan tetapi, judicial review dapat pula mencakup pengertian yang lebih sempit, karena subjek yang mengujinya hanya hakim atau lembaga judicial, sedangkan constitutional review bisa lebih luas tergantung lembaga mana yang diberi kewenangan oleh Undang-Undang Dasar suatu negara. Mengenai tugas ini dengan adanya amandement ke-III Undang-Undang Dasar 1945 dan melalui dikeluarkannya Ketetapan MPR no.1/MPR/2002 mengenai pembentukan komisi konstitusi yang menjadi cikal bakal terbentuknya Mahkamah Konstitusi yang mempunyai wewenang menguji peraturan perundang-undangan terhadap Undang-Undang Dasar 1945.
B.     Kasus posisi
Dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 18 tahun 2009 Tentang Peternakan dan Kesehatan  Hewan, maka ada beberapa pemohon yang menurut pandangan mereka dengan dikeluarkannya Undang-Undang tersebut dirasakan hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya telah dilanggar melalui salah satu isi Pasal 58 ayat (4) Undang-Undang No. 18 tahun 2009 Tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Mereka mengajukan permohonan melalui Constitusional Review kepada Mahkamah Konstitusi, pemohon tersebut adalah sebagai berikut :
1. Nama : Deni Juhaeni;
Pekerjaan : Wiraswasta (Pedagang Telur Ayam);
Alamat : Kelurahan Tugu, RT. 004 RW. 005, Cimanggis,
Kota Depok;
Selanjutnya disebut sebagai ------------------------------------- Pemohon I;
2. Nama : I Ketut Griawan Wijaya;
Pekerjaan : Wiraswasta (Pedagang Daging Babi);
Alamat : Banjar Umahanyar, Kelurahan Darmasaba,
Kecamatan Abiansemai, Kabupaten Badung - Bali;
Selanjutnya disebut sebagai ------------------------------------ Pemohon II;
3. Nama : Netty Retta Herawaty Hutabarat;
Pekerjaan : Wiraswasta (Pedagang Daging Anjing);
Alamat : Pondok Mitra Lestari 15/12, RT. 007, RW. 013,
Kelurahan Jatirasa, Kecamatan Jatiasih, Kota
Bekasi;
Selanjutnya disebut sebagai ----------------------------------- Pemohon III;
4. Nama : Bagus Putu Mantra;
Pekerjaan : Wiraswasta (Peternak Babi);
Alamat : BR Sukajati, Kelurahan Taman, Kecamatan
Abiansemal, Kabupaten Badung - Bali;
Selanjutnya disebut sebagai ----------------------------------- Pemohon IV;
Bahwa dari keempat pemohon tersebut adalah dengan rincian permasalahan sebagai berikut :
Pemohon I adalah pedagang telur ayam yang melakukan kegiatan untuk mencari nafkah guna mempertahankan kelangsungan hidup dan kehidupannya yang dijamin oleh Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 28A UUD 1945 dengan cara menjual eceran atau kiloan kepada pedagang kecil untuk dikonsumsi oleh masyarakat umum, yang mana barang yang dijual tersebut tidak dilarang oleh Undang-Undang, di mana usaha Pemohon I telah dijalankan selama kurun waktu sekitar 5 (lima) tahun.
Pemohon II adalah pedagang daging babi yang melakukan kegiatan untuk mencari nafkah guna mempertahankan kelangsungan hidup dan kehidupannya yang dijamin Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 28 A UUD 1945 dengan cara menjual daging babi eceran di pasar Badung Bali untuk dikonsumsi oleh masyarakat umum, yang mana barang yang dijual tersebut tidak dilarang oleh Undang-Undang, di mana usaha Pemohon II telah dijalankan selama kurun waktu cukup lama dan turun menurun darikeluarga Pemohon II. Bahwa di samping itu Pemohon II adalah pelaku usaha yang menjual produk hewan dalam bentuk daging babi yang secara notoir feit[2] masuk dalam kategori produk hewan yang tidak halal sehingga dapat dipastikan tidak akan mungkin mendapatkan Sertifikat halal maka dengan demikian hak konstitusional Pemohon II yang dijamin oleh Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 telah dilanggar yang berakibat Pemohon II berpotensi tidak dapat lagi menjalankan usahanya. Bahwa nota bene usaha Pemohon II sampai dengan saat ini telah berjalan cukup lama dan Pemohon II dengan melakukan usaha dimaksud telah mampu mempertahankan kelangsungan hidup dirinya dan keluarganya secara turun temurun.
Pemohon III, adalah pemilik lapo yang melakukan kegiatan usaha di daerah Kampung Melayu yang menjual makanan berbahan baku daging anjing yang telah diolah menjadi makanan siap saji berupa daging panggang dan sangsang untuk dikonsumsi oleh masyarakat umum, guna mempertahankan kelangsungan hidup dan kehidupannya yang dijamin Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 28 A UUD 1945 yang mana barang yang dijual tersebut tidak dilarang oleh Undang-Undang. Bahwa disamping itu Pemohon III adalah pelaku usaha yang menjual produk daging anjing yang secara notoir feit masuk dalam kategori produk hewan yang tidak halal sehingga dapat dipastikan tidak akan mungkin mendapatkan Sertifikat halal maka dengan demikian hak konstitusi. Pemohon III yang dijamin dalam Pasal 28 D ayat (1) dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 telah dilanggar yang berakibat pemohon Ill berpotensi tidak dapat lagi menjalankan usahanya. Padahal usaha Pemohon III sampai dengan saat ini telah berjalan selama kurun waktu Iebih dari 10 (sepuluh) tahun yang mampu mempekerjakan 4 (empat) orang karyawan sehingga dengan demikian di samping Pemohon III telah dapat mempertahankan kelangsungan hidup, maka usaha Pemohon III juga telah dapat mempertahankan kelangsungan hidup 4 (empat) orang karyawannya.
Pemohon IV adalah peternak babi yang melakukan kegiatan untuk mencari nafkah guna mempertahankan kelangsungan hidup dan kehidupannya yang dijamin Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 28 A UUD 1945 dengan cara menjual hewan babi dalam keadaan masih hidup untuk dikonsumsi maupun untuk keperluan upacara adat kepada masyarakat di lingkungan sekitarnya serta untuk wilayah Bali, yang mana tidak dilarang oleh Undang-Undang di mana usaha Pemohon IV. Dan produk hewan yang dijual tersebut tidak dilarang oleh Undang-Undang di mana usaha. Pemohon IV telah dijalankan selama kurun waktu cukup lama dan turun menurun dari keluarga Pemohon IV. Bahwa di samping itu Pemohon IV adalah pelaku usaha yang menjual produk hewan babi yang secara notoir felt masuk dalam kategori produk hewan yang tidak halal sehingga dapat dipastikan tidak akan mungkin mendapatkan sertifikat halal maka dengan demikian hak konstitusional Pemohon IV yang dijamin dalam Pasal 28 D ayat (1) dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 telah dilanggar yang berakibat. Pemohon IV tidak dapat menjalankan usahanya. Padahal usaha Pemohon IV tersebut sampai dengan saat ini telah banyak membantu untuk mempertahankan kelangsungan hidup Pemohon IV berserta keluarganya.
Bahwa berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas sangat jelas bahwa Ketentuan Pasal 58 ayat (4) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan melanggar hak konstitusional dari para Pemohon untuk memilih pekerjaan dan penghidupannya yang Iayak bagi kemanusiaan, mempertahankan hidup dan kehidupannya, pengakuan, jaminan, perlindungan sebagai warga negara yang mempunyai hak yang sama di mata hukum yang dijamin oleh Pasal 27 ayat (2), Pasal 28 A, Pasal 28 D ayat (1) dan Pasal 28 I ayat (2) UUD 1945 yang berpotensi merugikan para Pemohon.

C.     Masalah Hukum.
Dengan isi Pasal 58 ayat (4) Undang-Undang No.18 tahun 2009 Tentang Peternakaan dan Kesehatan Hewan, adanya pelanggaran yang merugikan kepada para pemohon tersebut. Oleh karena itu selain apakah isi dalam Undang-Undang tersebut bertentangan dengan peraturan di atasnya dan juga bagaimana Mahkamah Konstitusi memutus perkara tersebut ?
  
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A.    LEGISME
Legisme
Aliran ini muncul pada abad pertengahan. Dimana menurut aliran ini bahwa yang menjadi satu-satunya sumber hukum adalah Undang-Undang sedangkan peradilan berarti semata-mata penerapan Undang-Undang pada peristiwa yang konkret. Hakim hanyalah subsumptie automaat, sedangkan metode yang dipakai adalah geometri yuridis[3]. Kebiasaannya hanya mempunyai kekuatan hukum apabila ditunjuk oleh Undang-Undang. Ajaran ini sesuai dengan hukum kodrat yang rasionalistis dari abad ke17 dan 18.
Ajaran Trias Politica (Montesquieu) mengatakan bahwa pembentukan hukum semata-mata adalah hak istimewa dari pembentuk Undang-Undang, sedangkan kebiasaan bukanlah sumber hukum. Senada dengan pandangan Montesquieu adalah pandangan ajran kedaulatan rakyat dari Rosseau, yang mengatakan bahwa kehendak rakyat bersama (volonte generale) adalah kekuasaan tertinggi. Undang-Undang sebagai pernyataan kehendak rakyat adalah satu-satunya sumber hukum.

B.     PENAFSIRAN
  1. Pengertian Penafsiran.
Interpretasi atau penafsiran merupakan salah satu metode penemuan hukum yang memberi penjelasan yang gamblang mengenai teks Undang-Undang agar ruang lingkup kaedah dapt ditetapkan sehubungan dengan peristiwa tertentu. Dalam metode penemuan hukum Ahmad Rifai menjelaskan lebih lanjut sebagai berikut[4] :
“Interpretasi hukum terjadi, apabila terdapat ketentuan Undang-Undang yang secara langsung dapat diterapkan pada kasus konkret yang dihadapi, atau metode ini dilakukan dalam hal peraturannya sudah ada, tetapi tidak jelas untuk dapat diterapkannya pada peristiwa konkret atau mengandung arti pemecahan atau penguraian akan suatu makna ganda, norma yang kabur (vage normen), konflik antar norma (antinomy normen), dan ketidak pastian dari suatu peraturan perundang-undangan. Interprestasi terhadap teks peraturan perundang-undangan nya pun masih tetap berpegang pada bunyi teks tersebut. Konstruksi hukum terjadi , apabila tidak diketemukan entuan Undang-Undang yang yang secara langsung dapat diterapkan pada masalah hukum yang dihadapi, ataupun dalam hal peraturannya memang tidak ada, jadi terdapat kekosongan hukum (recht vacuum) atau kekosongan Undang-Undang (wet vacuum). Untuk mengisi kekosongan Undang-Undang inilah, biasanya hakim menggunakan penalaran logisnya untuk mengembangkan lebih lanjut suatu teks Undang-Undang, di mana hakim tidak lagi berpegang pada bunyi teks tiu, tetapi dengan syarat hakim tidak mengabaikan hukum sebagai suatu sistem.”
Dalam literature lazimnya dibedakan beberapa metode penafsiran. Mengenai definisi masing-masing metode tidak ada kesesuaian pendapat[5]. Dalam metode interpretasi terbagi ke dalam 6 kategori yaitu[6] :
1.      Interpretasi Gramatikal
2.      Interpretasi teleologis atau sosiologis
3.      Interpretasi sistematis
4.      Interpretasi Historis
5.      Intrepretasi Komparatif
6.      Interpretasi Futuristic.
Dalam putusan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi, penulis memandang bahwa Mahkamah Konstitusi hanya memakai beberapa penafsiran dalam mengeluarkan putusannya, yaitu :

1.1  Interpretasi menurut bahasa.
Bahasa merupakan sarana yang penting bagi hukum. Oleh karena itu hukum terikat pada bahasa. Penafsiran Undang-Undang pada dasarnya selalu akan merupakan penjelasan dari segi bahasa. Metode interpretasi grammatical merupakan cara penafsiran atau penjelasan yang paling sederhana untuk mengetahui makna ketentuan Undang-Undang dengan menguraikannya menurut bahasa, susun kata atau bunyinya. Dalam metode ini arti atau makna ketentuan Undang-Undang dijelaskan menurut bahasa sehari-hari yang umum. Ini tidak berarti bahwa hakim terikat pada bunyi kata-kata dari Undang-Undang. Metode interpretasi ini disebut juga metode obyektif.
1.2  Interpretasi historis
Interpretasi ini terbagi ke dalam dua yaitu penafsiran menurut sejarah Undang-undang dan menurut sejarah hukum. Penafsiran menurut sejarah Undang-Undang ialah apa yang menjadi dasar pembentukan Undang-Undang tersebut . Interpretasi menurut sejarah Undang-Undang ini disebut juga sebagai Interpretasi subyektif. Karena penafsir menempatkan diri pada pandangan subyektif pembentuk Undang-Undang, sebagai lawan interpretasi bahasa yang disebut metode obyektif. Interpretasi menurut sejarah Undang-Undang ini mengambil sumbernya dari surat menyurat dari pembicaraan DPR, yang kesemuanya itu member gambaran tentang apa yang dikehendaki oleh pembentuk Undang-Undang.
Interpretasi menurut sejarah hukum adalah bagaimana kita mengetahui bahwa sesuatu peraturan tersebut terbentuk bukan dari siapa yang membuat peraturan tersebut tetapi kepada sejak kapan peraturan tersebut telah menjadi peraturan yang mengikat di masyarakat.

BAB III
ANALISIS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO. 2/PUU-IX/2011 TENTANG PERKARA PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NO.18 TAHUN 2009 TENTANG PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

  1. Pasal 58 ayat (4) Undang-Undang No. 18 tahun 2009 Tentang Peternakan dan kesehatan hewan dan dampak terhadap pemohon.

Dalam Pasal 58 ayat (4) yang berbunyi[7] :
                    “Produk hewan yang diproduksi di dan/atau dimasukkan ke wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk diedarkan wajib disertai sertifikat veteriner dan sertifikat halal.”

Itu adalah bunyi yang berasal dari salah satu isi dalam Undang-Undang tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Dimana dalam buyi pasal tersebut menerangkan tentang produksi hewan yang masuk ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia haruslah disertai dengan adanya sertifikat veteriner dan sertifikat halal. Sertifikat veteriner adalah adalah surat keterangan yang dikeluarkan oleh dokter hewan berwenang yang menyatakan bahwa produk hewan telah memenuhi persyaratan keamanan, kesehatan, dan keutuhan. Sertifikat halal adalah surat keterangan yang dikeluarkan oleh lembaga penjamin produk halal di negara kesatuan
Republik Indonesia. 
Mahkamah Konstitusi dalam menjelaskan beberapa kata “inti’ yang terdapat dalam isi pasal tersebut memakai metode gramatikal dengan rujukan yang terdapat di dalam kamus besar bahasa Indonesia adalah sebagai berikut :
·         frasa "wajib" mempunyai definisi "harus dilakukan" atau "tidak boleh
tidak".
·         frasa "halal" mempunyai definisi "diizinkan" atau "tidak dilarang oleh
syarak".
·         frasa "syarak" mempunyai definisi "hukum bersendi ajaran Islam".
·         frasa "veteriner" mempunyai definisi "mengenai penyakit hewan".
·         frasa "sertifikat" mempunyai definisi "tanda atau surat keterangan
(pernyataan) tertulis atau tercetak dari orang yang berwenang yang
dapat digunakan sebagai bukti kepemilikan atau suatu kejadian".
Dengan adanya penjelasan seperti yang dimaksud dalam Undang-Undang No. 18 tahun 2009 Tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan para pemohon mempunyai pandangan bahwa hak dan/atau kewenangan konstitusional nya dirugikan oleh berlakunya Undang-undang tersebut. Karena Undang-undang tersebut telah bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2) UUD 1945, Pasal 28 A, Pasal 28D ayat (1), Pasal 28I ayat (2) UUD 1945. Pemohon I sampai dengan Pemohon IV mempunyai asumsi bahwa dengan diberlakukannya Undang-Undang tersebut akan memotong hak-hak mereka yang telah di atur dan terdapat di dalam Undang-Undang Dasar 1945, sehingga efeknya akan kehilangan mata pencaharian. Dan mendesak agar Pemohon II,III,dan IV mendapatkan sertifikat halal untuk usahanya.

  1. Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai Constitutional Review yang diajukan para pemohon.
Dalam putusannya Mahkamah Konstitusi menolak seluruhnya yang diajukan oleh Pemohon I perihal pemberian sertifikat veteriner untuk tiap butir telurnya. Mengabulkan permohonan Pemohon II,III, dan IV untuk sebagian dan menolak permohonan Pemohon II,III,dan IV untuk selain dan selebihnya.
Mahkamah Konstitusi mempunyai pendapat yang selanjutnya di kemukakan di dalam pertimbangan hukum bahwa :
  1. Permohonan dari Pemohon dinilai sangat prematur dan tergesa-gesa karena ketentuan Pasal 58 ayat (4) Undang- Undang a quo memerlukan pengaturan lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Pertanian. Pasal 58 ayat (6) UU 18/2009 menyatakan, ”Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (5) diatur dengan Peraturan Menteri Pertanian.
  2. Tidak sesuai dengan kondisi untuk memberikan sertifikat veteriner kepada setiap butir telur dan itu pun tidak menjadi suatu yang harus dipenuhi dan dilakukan oleh pemerintah dikarenakan pemerintah akan kesulitan dan tidak akan efektif terhadap mawsyarakat. Dengan demikian Mahkamah konstitusi menilai bahwa  dalil permohonan yang diajukan oleh Pemohon I tidak beralasan.
  3. Menimbang bahwa dalil Pemohon II, Pemohon III, dan Pemohon IV, yang mengemukakan bahwa adalah mustahil bagi mereka akan mendapatkan sertifikat halalMenurut Mahkamah, dalil tersebut adalah benar karena Pemohon II adalah pedagang daging babi, yang barang dagangannya memang tidak halal untuk umat muslim, Pemohon III adalah penjual daging anjing yang dagangannya pada umumnya memang tidak untuk dikonsumsi, dan Pemohon IV sebagai peternak dan penjual babi yang barang dagangannya tidak memerlukan sertifikat halal, sehingga secara fakta bidang usaha Pemohon II, Pemohon III, dan Pemohon IV merupakan atau berhubungan dengan hewan atau produk hewan yang tidak halal. Sikap Pemerintah yang tidak mensyaratkan sertifikat halal bagi produk hewan yang memang tidak halal, sudah diatur antara lain dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor 381/Kpts/OT.140/10/2005 tentang Pedoman Sertifikasi Kontrol Veteriner Unit Usaha Pangan Asal Hewan yang dalam Pasal 2 ayat (2) menyatakan, ”Peraturan ini bertujuan untuk:
a)      Mewujudkan jaminan pangan asal hewan yang aman, sehat, utuh, dan halal.
b)      Mewujudkan jaminan pangan asal hewan yang aman, sehat, utuh untuk pangan asal babi
  1. Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas Mahkamah berpendapat Pasal 58 ayat (4) UU 18/2009 bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai bagi produk hewan yang memang tidak halal, tidak disyaratkan adanya sertifikat halal
BAB IV
KESIMPULAN
Simpulan.
Bahwa Mahkamah Konstitusi dalam memutus perkara pada kasus ini menurut hemat penulis dominan memakai penafsiran grammatikal. Justru akan menjadi polemik dan permasalahan apabila Mahkamah Konstitusi mengeluarkan keputusan bahwa barang yang memang tidak masuk dalam kategori halal diberikan sertifikat halal, dan ini bisa menjadi pemantik konflik di ranah sosiologi.
Karena pemohon tidak dapat menjelaskan fakta kerugian dan kerugian konstitutionalnya secara jelas dan konkrit sebagaimana dipersyaratkan dalam ketentuan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, sehingga jelas Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum. Sehingga Mahkamah Konstitusi menilai bahwa para pemohon salah mengartikan maksud bahasa yang terkandung di salah satu pasal yang terdapat dalam Undang-Undang No. 18 tahun 2009 Tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Padahal jenis usaha yang dijalankan oleh Pemohon II,III,dan IV tidak termasuk ke dalam kategori yang diatur oleh Pasal 58 ayat (4) Undang-Undang No. 18 tahun 2009 Tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan.











DAFTAR PUSTAKA
Buku
Ahmad Rifai, Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Perspektif Hukum Progresif, Sinar Grafika, Jakarta, 2010.
Algra/Janssen, Rechtsingang, Wolters Noordhoff, Groningen, 1981.
Kholid Sentosa, Mohamad Natsir : Islam Sebagai Dasar Negara, Sega Asry, Bandung, 2007.
Munafrizal Manan, Penemuan Hukum oleh Mahkamah Konstitusi, Mandar Maju, Bandung, 2012.
Sudikno Mertokusumo, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, Citra Aditya Bakti, Yogyakarta, 1993.
Van Appledorn, Inleiding tot de studie van het Nederladse Recht, Tjeenk Willink, Zwolle, 1954.

Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing the World Trade Organization
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan
Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1983 tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner;
Peraturan Menteri Pertanian Nomor 295/Kpts/TN.240/5/1989 tentang Pemotongan Babi dan Penanganan Babi dan Hasil Ikutannya
Peraturan Menteri Pertanian Nomor 381/Kpts/OT.140/10/2005 tentang Pedoman Sertifikasi Kontrol Veteriner Unit Usaha Pangan Asal Hewan
Peraturan Menteri Pertanian Nomor 20/Permentan/OT.140/4/2009 tentang Pemasukan dan Pengawasan Peredaran Karkas, Daging dan Jeroan dari Luar Negeri




[1] Lihat pengantar Lord Brown-Wilkinson dalam M.Supperstone QC dan J. Goudie QC judicial Review (1992) London : From a Different Perspective, juga F. Mount, the British Constitution Now, (1993) London, Mandarin, p.261
[2]  Memiliki definisi Produk hewan yang masuk dalam kategori tidak halal
[3]  Van Appledorn, Inleiding tot de studie van het Nederladse Recht, Tjeenk Willink, Zwolle, 1954, hlm.301
[4]  Ahmad Rifai, Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Perspektif Hukum Progresif, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hlm. 25-26
[5]  Algra/Janssen, Rechtsingang, Wolters Noordhoff, Groningen, 1981, hlm. 50
[6]  Sudikno Mertokusumo, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, Citra Aditya Bakti, Yogyakarta, 1993. Hlm. 15

[7]  Undang-Undang No. 18 tahun 2009 Tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar