BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Sejarah
institusi yang berperan melakukan kegiatan “constitutional
review” di dunia berkembang pesat melalui tahap-tahap pengalaman ayng
beragam di setiap negara. Ada yang melembagakan fungsi pengujian konstitusional
itu dalam lembaga aygn tersendiri bernama Mahkamah Konstitusi. Ada pula yang
mengaitkan fungsi itu kepada lembaga yang sudah ada, yaitu Mahkamah Agung.
Kehadiran sistem pengujian ini ataupun mekanisme ‘judicial review’ yang terus berkembang dalam praktik di berbagai
negara demokrasi, pada umumnya, disambut baik di dunia akademis maupun praktis,
bahkan tidak kurang oleh lingkungan cabang kekuasaan kehakiman sendiri (judiciary). Seperti dikemukakan oleh Lee
Bridges, George Meszaros, dan Maurice Sunkin : “judicial review has been increasingly celebrated, not least by the
judiciary itself, as means by which the citizen can obtain redress against
oppressive government, and as a key vehicle for enabling the judiciary to
prevent and check the abuse of executive power”[1].
Pada umumnya, mekanisme pengujian hukum ini diterima sebagai cara negara hukum
modern mengendalikan dan mengimbangi (check
and balances) kecenderungan kekuasaan yang ada di genggaman para pejabat
pemerintahan untuk menjadi sewenang-wenang.
Haruslah
dibedakan antara judicial review dan constitutional review. Judicial Review lebih luas dari Constitutional Review, karena objek yang
diujinya tidak hanya mengenai produk hukum berbentuk undang-undang, tetapi
mencakup pula peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang. Akan tetapi,
judicial review dapat pula mencakup
pengertian yang lebih sempit, karena subjek yang mengujinya hanya hakim atau
lembaga judicial, sedangkan constitutional
review bisa lebih luas tergantung lembaga mana yang diberi kewenangan oleh
Undang-Undang Dasar suatu negara. Mengenai tugas ini dengan adanya amandement
ke-III Undang-Undang Dasar 1945 dan melalui dikeluarkannya Ketetapan MPR
no.1/MPR/2002 mengenai pembentukan komisi konstitusi yang menjadi cikal bakal
terbentuknya Mahkamah Konstitusi yang mempunyai wewenang menguji peraturan
perundang-undangan terhadap Undang-Undang Dasar 1945.
B.
Kasus posisi
Dengan
dikeluarkannya Undang-Undang No. 18 tahun 2009 Tentang Peternakan dan
Kesehatan Hewan, maka ada beberapa
pemohon yang menurut pandangan mereka dengan dikeluarkannya Undang-Undang
tersebut dirasakan hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya telah dilanggar
melalui salah satu isi Pasal 58 ayat (4) Undang-Undang No. 18 tahun 2009
Tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Mereka mengajukan permohonan melalui Constitusional Review kepada Mahkamah
Konstitusi, pemohon tersebut adalah sebagai berikut :
1.
Nama : Deni Juhaeni;
Pekerjaan
: Wiraswasta (Pedagang Telur Ayam);
Alamat
: Kelurahan Tugu, RT. 004 RW. 005, Cimanggis,
Kota
Depok;
Selanjutnya
disebut sebagai ------------------------------------- Pemohon I;
2.
Nama : I Ketut Griawan Wijaya;
Pekerjaan
: Wiraswasta (Pedagang Daging Babi);
Alamat
: Banjar Umahanyar, Kelurahan Darmasaba,
Kecamatan
Abiansemai, Kabupaten Badung - Bali;
Selanjutnya
disebut sebagai ------------------------------------ Pemohon II;
3.
Nama : Netty Retta Herawaty Hutabarat;
Pekerjaan
: Wiraswasta (Pedagang Daging Anjing);
Alamat
: Pondok Mitra Lestari 15/12, RT. 007, RW. 013,
Kelurahan
Jatirasa, Kecamatan Jatiasih, Kota
Bekasi;
Selanjutnya
disebut sebagai ----------------------------------- Pemohon III;
4.
Nama : Bagus Putu Mantra;
Pekerjaan
: Wiraswasta (Peternak Babi);
Alamat
: BR Sukajati, Kelurahan Taman, Kecamatan
Abiansemal,
Kabupaten Badung - Bali;
Selanjutnya
disebut sebagai ----------------------------------- Pemohon IV;
Bahwa
dari keempat pemohon tersebut adalah dengan rincian permasalahan sebagai
berikut :
Pemohon
I adalah pedagang telur ayam yang melakukan kegiatan untuk mencari nafkah guna
mempertahankan kelangsungan hidup dan kehidupannya yang dijamin oleh Pasal 27
ayat (2) dan Pasal 28A UUD 1945 dengan cara menjual eceran atau kiloan kepada
pedagang kecil untuk dikonsumsi oleh masyarakat umum, yang mana barang yang
dijual tersebut tidak dilarang oleh Undang-Undang, di mana usaha Pemohon I telah
dijalankan selama kurun waktu sekitar 5 (lima) tahun.
Pemohon
II adalah pedagang daging babi yang melakukan kegiatan untuk mencari nafkah
guna mempertahankan kelangsungan hidup dan kehidupannya yang dijamin Pasal 27
ayat (2) dan Pasal 28 A UUD 1945 dengan cara menjual daging babi eceran di
pasar Badung Bali untuk dikonsumsi oleh masyarakat umum, yang mana barang yang
dijual tersebut tidak dilarang oleh Undang-Undang, di mana usaha Pemohon II telah
dijalankan selama kurun waktu cukup lama dan turun menurun darikeluarga Pemohon
II. Bahwa di samping itu Pemohon II adalah pelaku usaha yang menjual produk
hewan dalam bentuk daging babi yang secara notoir
feit[2]
masuk dalam kategori produk hewan yang tidak halal sehingga dapat dipastikan tidak
akan mungkin mendapatkan Sertifikat halal maka dengan demikian hak
konstitusional Pemohon II yang dijamin oleh Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28I
ayat (2) UUD 1945 telah dilanggar yang berakibat Pemohon II berpotensi tidak
dapat lagi menjalankan usahanya. Bahwa nota bene usaha Pemohon II sampai dengan
saat ini telah berjalan cukup lama dan Pemohon II dengan melakukan usaha
dimaksud telah mampu mempertahankan kelangsungan hidup dirinya dan keluarganya secara
turun temurun.
Pemohon
III, adalah pemilik lapo yang melakukan kegiatan usaha di daerah Kampung Melayu
yang menjual makanan berbahan baku daging anjing yang telah diolah menjadi
makanan siap saji berupa daging panggang dan sangsang untuk dikonsumsi oleh
masyarakat umum, guna mempertahankan kelangsungan hidup dan kehidupannya yang
dijamin Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 28 A UUD 1945 yang mana barang yang dijual tersebut
tidak dilarang oleh Undang-Undang. Bahwa disamping itu Pemohon III adalah
pelaku usaha yang menjual produk daging anjing yang secara notoir feit masuk
dalam kategori produk hewan yang tidak halal sehingga dapat dipastikan tidak akan
mungkin mendapatkan Sertifikat halal maka dengan demikian hak konstitusi. Pemohon
III yang dijamin dalam Pasal 28 D ayat (1) dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945
telah dilanggar yang berakibat pemohon Ill berpotensi tidak dapat lagi
menjalankan usahanya. Padahal usaha Pemohon III sampai dengan saat ini telah
berjalan selama kurun waktu Iebih dari 10 (sepuluh) tahun yang mampu
mempekerjakan 4 (empat) orang karyawan sehingga dengan demikian di samping
Pemohon III telah dapat mempertahankan kelangsungan hidup, maka usaha Pemohon
III juga telah dapat mempertahankan kelangsungan hidup 4 (empat) orang
karyawannya.
Pemohon IV adalah peternak babi yang melakukan
kegiatan untuk mencari nafkah guna mempertahankan kelangsungan hidup dan kehidupannya
yang dijamin Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 28 A UUD 1945 dengan cara menjual
hewan babi dalam keadaan masih hidup untuk dikonsumsi maupun untuk keperluan
upacara adat kepada masyarakat di lingkungan sekitarnya serta untuk wilayah
Bali, yang mana tidak dilarang oleh Undang-Undang di mana usaha Pemohon IV. Dan
produk hewan yang dijual tersebut tidak dilarang oleh Undang-Undang di mana
usaha.
Pemohon
IV telah dijalankan selama kurun waktu cukup lama dan turun menurun dari
keluarga Pemohon IV. Bahwa di samping itu Pemohon IV adalah pelaku usaha yang
menjual produk hewan babi yang secara notoir
felt masuk dalam kategori produk hewan yang tidak halal sehingga dapat dipastikan
tidak akan mungkin mendapatkan sertifikat halal maka dengan demikian hak
konstitusional Pemohon IV yang dijamin dalam Pasal 28 D ayat (1) dan Pasal 28I
ayat (2) UUD 1945 telah dilanggar yang berakibat. Pemohon IV tidak dapat
menjalankan usahanya. Padahal usaha Pemohon IV tersebut sampai dengan saat ini
telah banyak membantu untuk mempertahankan kelangsungan hidup Pemohon IV berserta
keluarganya.
Bahwa berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas
sangat jelas bahwa Ketentuan Pasal 58 ayat (4) Undang-Undang Nomor 18 Tahun
2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan melanggar hak konstitusional dari
para Pemohon untuk memilih pekerjaan dan penghidupannya yang Iayak bagi
kemanusiaan, mempertahankan hidup dan kehidupannya, pengakuan, jaminan,
perlindungan sebagai warga negara yang mempunyai hak yang sama di mata hukum
yang dijamin oleh Pasal 27 ayat (2), Pasal 28 A, Pasal 28 D ayat (1) dan Pasal
28 I ayat (2) UUD 1945 yang berpotensi merugikan para Pemohon.
C.
Masalah Hukum.
Dengan isi Pasal 58 ayat (4) Undang-Undang No.18
tahun 2009 Tentang Peternakaan dan Kesehatan Hewan, adanya pelanggaran yang
merugikan kepada para pemohon tersebut. Oleh karena itu selain apakah isi dalam
Undang-Undang tersebut bertentangan dengan peraturan di atasnya dan juga
bagaimana Mahkamah Konstitusi memutus perkara tersebut ?
BAB
II
TINJAUAN
PUSTAKA
A.
LEGISME
Legisme
Aliran ini muncul pada abad pertengahan. Dimana
menurut aliran ini bahwa yang menjadi satu-satunya sumber hukum adalah
Undang-Undang sedangkan peradilan berarti semata-mata penerapan Undang-Undang
pada peristiwa yang konkret. Hakim hanyalah subsumptie automaat, sedangkan metode
yang dipakai adalah geometri yuridis[3].
Kebiasaannya hanya mempunyai kekuatan hukum apabila ditunjuk oleh
Undang-Undang. Ajaran ini sesuai dengan hukum kodrat yang rasionalistis dari
abad ke17 dan 18.
Ajaran Trias
Politica (Montesquieu) mengatakan bahwa pembentukan hukum semata-mata
adalah hak istimewa dari pembentuk Undang-Undang, sedangkan kebiasaan bukanlah
sumber hukum. Senada dengan pandangan Montesquieu adalah pandangan ajran
kedaulatan rakyat dari Rosseau, yang mengatakan bahwa kehendak rakyat bersama (volonte generale) adalah kekuasaan
tertinggi. Undang-Undang sebagai pernyataan kehendak rakyat adalah satu-satunya
sumber hukum.
B.
PENAFSIRAN
- Pengertian
Penafsiran.
Interpretasi atau penafsiran merupakan salah satu
metode penemuan hukum yang memberi penjelasan yang gamblang mengenai teks
Undang-Undang agar ruang lingkup kaedah dapt ditetapkan sehubungan dengan
peristiwa tertentu. Dalam metode penemuan hukum Ahmad Rifai menjelaskan lebih
lanjut sebagai berikut[4] :
“Interpretasi
hukum terjadi, apabila terdapat ketentuan Undang-Undang yang secara langsung
dapat diterapkan pada kasus konkret yang dihadapi, atau metode ini dilakukan
dalam hal peraturannya sudah ada, tetapi tidak jelas untuk dapat diterapkannya
pada peristiwa konkret atau mengandung arti pemecahan atau penguraian akan
suatu makna ganda, norma yang kabur (vage
normen), konflik antar norma (antinomy
normen), dan ketidak pastian dari suatu peraturan perundang-undangan.
Interprestasi terhadap teks peraturan perundang-undangan nya pun masih tetap
berpegang pada bunyi teks tersebut. Konstruksi hukum terjadi , apabila tidak
diketemukan entuan Undang-Undang yang yang secara langsung dapat diterapkan
pada masalah hukum yang dihadapi, ataupun dalam hal peraturannya memang tidak
ada, jadi terdapat kekosongan hukum (recht
vacuum) atau kekosongan Undang-Undang (wet
vacuum). Untuk mengisi kekosongan Undang-Undang inilah, biasanya hakim
menggunakan penalaran logisnya untuk mengembangkan lebih lanjut suatu teks
Undang-Undang, di mana hakim tidak lagi berpegang pada bunyi teks tiu, tetapi
dengan syarat hakim tidak mengabaikan hukum sebagai suatu sistem.”
Dalam literature lazimnya dibedakan beberapa metode
penafsiran. Mengenai definisi masing-masing metode tidak ada kesesuaian pendapat[5].
Dalam metode interpretasi terbagi ke dalam 6 kategori yaitu[6] :
1.
Interpretasi Gramatikal
2.
Interpretasi teleologis atau sosiologis
3.
Interpretasi sistematis
4.
Interpretasi Historis
5.
Intrepretasi Komparatif
6.
Interpretasi Futuristic.
Dalam putusan yang dikeluarkan oleh Mahkamah
Konstitusi, penulis memandang bahwa Mahkamah Konstitusi hanya memakai beberapa
penafsiran dalam mengeluarkan putusannya, yaitu :
1.1 Interpretasi menurut bahasa.
Bahasa merupakan sarana yang penting bagi hukum.
Oleh karena itu hukum terikat pada bahasa. Penafsiran Undang-Undang pada
dasarnya selalu akan merupakan penjelasan dari segi bahasa. Metode interpretasi
grammatical merupakan cara penafsiran atau penjelasan yang paling sederhana
untuk mengetahui makna ketentuan Undang-Undang dengan menguraikannya menurut
bahasa, susun kata atau bunyinya. Dalam metode ini arti atau makna ketentuan
Undang-Undang dijelaskan menurut bahasa sehari-hari yang umum. Ini tidak
berarti bahwa hakim terikat pada bunyi kata-kata dari Undang-Undang. Metode
interpretasi ini disebut juga metode obyektif.
1.2 Interpretasi historis
Interpretasi ini terbagi ke dalam dua yaitu
penafsiran menurut sejarah Undang-undang dan menurut sejarah hukum. Penafsiran
menurut sejarah Undang-Undang ialah apa yang menjadi dasar pembentukan Undang-Undang
tersebut . Interpretasi menurut sejarah Undang-Undang ini disebut juga sebagai Interpretasi subyektif. Karena penafsir
menempatkan diri pada pandangan subyektif pembentuk Undang-Undang, sebagai
lawan interpretasi bahasa yang disebut metode obyektif. Interpretasi menurut
sejarah Undang-Undang ini mengambil sumbernya dari surat menyurat dari
pembicaraan DPR, yang kesemuanya itu member gambaran tentang apa yang
dikehendaki oleh pembentuk Undang-Undang.
Interpretasi menurut sejarah hukum adalah bagaimana
kita mengetahui bahwa sesuatu peraturan tersebut terbentuk bukan dari siapa
yang membuat peraturan tersebut tetapi kepada sejak kapan peraturan tersebut
telah menjadi peraturan yang mengikat di masyarakat.
BAB III
ANALISIS
TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO. 2/PUU-IX/2011 TENTANG PERKARA
PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NO.18 TAHUN 2009 TENTANG PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN
TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945
- Pasal
58 ayat (4) Undang-Undang No. 18 tahun 2009 Tentang Peternakan dan
kesehatan hewan dan dampak terhadap pemohon.
Dalam Pasal 58 ayat (4) yang berbunyi[7] :
“Produk hewan yang
diproduksi di dan/atau dimasukkan ke wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
untuk diedarkan wajib disertai sertifikat veteriner dan sertifikat halal.”
Itu adalah bunyi yang berasal dari salah satu isi
dalam Undang-Undang tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Dimana dalam buyi
pasal tersebut menerangkan tentang produksi hewan yang masuk ke dalam wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia haruslah disertai dengan adanya sertifikat
veteriner dan sertifikat halal. Sertifikat
veteriner adalah adalah surat keterangan yang dikeluarkan oleh dokter hewan
berwenang yang menyatakan bahwa produk hewan telah memenuhi persyaratan
keamanan, kesehatan, dan keutuhan. Sertifikat
halal adalah surat keterangan yang dikeluarkan oleh lembaga penjamin produk
halal di negara kesatuan
Republik
Indonesia.
Mahkamah Konstitusi dalam menjelaskan beberapa kata
“inti’
yang terdapat dalam isi pasal tersebut memakai metode gramatikal dengan rujukan
yang terdapat di dalam kamus besar bahasa Indonesia adalah sebagai berikut :
·
frasa "wajib" mempunyai definisi "harus dilakukan" atau
"tidak boleh
tidak".
·
frasa "halal" mempunyai definisi "diizinkan" atau
"tidak dilarang oleh
syarak".
·
frasa "syarak" mempunyai definisi "hukum bersendi ajaran
Islam".
·
frasa "veteriner" mempunyai definisi "mengenai penyakit
hewan".
·
frasa "sertifikat" mempunyai definisi "tanda atau surat
keterangan
(pernyataan) tertulis atau tercetak dari orang yang
berwenang yang
dapat digunakan sebagai bukti kepemilikan atau suatu
kejadian".
Dengan adanya penjelasan seperti yang dimaksud dalam
Undang-Undang No. 18 tahun 2009 Tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan para
pemohon mempunyai pandangan bahwa hak dan/atau kewenangan konstitusional nya dirugikan
oleh berlakunya Undang-undang tersebut. Karena Undang-undang tersebut telah
bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2) UUD 1945, Pasal 28 A, Pasal 28D ayat (1),
Pasal 28I ayat (2) UUD 1945. Pemohon I sampai dengan Pemohon IV mempunyai
asumsi bahwa dengan diberlakukannya Undang-Undang tersebut akan memotong
hak-hak mereka yang telah di atur dan terdapat di dalam Undang-Undang Dasar
1945, sehingga efeknya akan kehilangan mata pencaharian. Dan mendesak agar
Pemohon II,III,dan IV mendapatkan sertifikat halal untuk usahanya.
- Putusan
Mahkamah Konstitusi mengenai Constitutional
Review yang diajukan para pemohon.
Dalam putusannya Mahkamah Konstitusi menolak
seluruhnya yang diajukan oleh Pemohon I perihal pemberian sertifikat veteriner untuk tiap butir telurnya.
Mengabulkan permohonan Pemohon II,III, dan IV untuk sebagian dan menolak
permohonan Pemohon II,III,dan IV untuk selain dan selebihnya.
Mahkamah Konstitusi mempunyai pendapat yang
selanjutnya di kemukakan di dalam pertimbangan hukum bahwa :
- Permohonan dari Pemohon dinilai
sangat prematur dan tergesa-gesa karena ketentuan Pasal 58 ayat (4)
Undang- Undang a quo memerlukan
pengaturan lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Pertanian. Pasal 58 ayat
(6) UU 18/2009 menyatakan, ”Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) sampai dengan ayat (5) diatur dengan Peraturan Menteri
Pertanian.
- Tidak sesuai dengan kondisi untuk
memberikan sertifikat veteriner
kepada setiap butir telur dan itu pun tidak menjadi suatu yang harus
dipenuhi dan dilakukan oleh pemerintah dikarenakan pemerintah akan
kesulitan dan tidak akan efektif terhadap mawsyarakat. Dengan demikian Mahkamah
konstitusi menilai bahwa dalil
permohonan yang diajukan oleh Pemohon I tidak beralasan.
- Menimbang bahwa dalil Pemohon II,
Pemohon III, dan Pemohon IV, yang mengemukakan bahwa adalah mustahil bagi
mereka akan mendapatkan sertifikat halalMenurut Mahkamah, dalil tersebut
adalah benar karena Pemohon II adalah pedagang daging babi, yang barang
dagangannya memang tidak halal untuk umat muslim, Pemohon III adalah
penjual daging anjing yang dagangannya pada umumnya memang tidak untuk
dikonsumsi, dan Pemohon IV sebagai peternak dan penjual babi yang barang
dagangannya tidak memerlukan sertifikat halal, sehingga secara fakta
bidang usaha Pemohon II, Pemohon III, dan Pemohon IV merupakan atau
berhubungan dengan hewan atau produk hewan yang tidak halal. Sikap
Pemerintah yang tidak mensyaratkan sertifikat halal bagi produk hewan yang
memang tidak halal, sudah diatur antara lain dalam Peraturan Menteri
Pertanian Nomor 381/Kpts/OT.140/10/2005 tentang Pedoman Sertifikasi
Kontrol Veteriner Unit Usaha Pangan Asal Hewan yang dalam Pasal 2 ayat (2)
menyatakan, ”Peraturan ini bertujuan untuk:
a)
Mewujudkan jaminan pangan asal hewan
yang aman, sehat, utuh, dan halal.
b)
Mewujudkan jaminan pangan asal hewan
yang aman, sehat, utuh untuk pangan asal
babi
- Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas Mahkamah berpendapat Pasal 58 ayat (4) UU 18/2009 bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai bagi produk hewan yang memang tidak halal, tidak disyaratkan adanya sertifikat halal
BAB IV
KESIMPULAN
Simpulan.
Bahwa Mahkamah Konstitusi dalam memutus perkara pada
kasus ini menurut hemat penulis dominan memakai penafsiran grammatikal. Justru
akan menjadi polemik dan permasalahan apabila Mahkamah Konstitusi mengeluarkan
keputusan bahwa barang yang memang tidak masuk dalam kategori halal diberikan
sertifikat halal, dan ini bisa menjadi pemantik konflik di ranah sosiologi.
Karena pemohon tidak dapat menjelaskan fakta
kerugian dan kerugian konstitutionalnya secara jelas dan konkrit sebagaimana dipersyaratkan
dalam ketentuan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, sehingga
jelas Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum. Sehingga Mahkamah Konstitusi
menilai bahwa para pemohon salah mengartikan maksud bahasa yang
terkandung di salah satu pasal yang terdapat dalam Undang-Undang No. 18 tahun
2009 Tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Padahal jenis usaha yang
dijalankan oleh Pemohon II,III,dan IV tidak termasuk ke dalam kategori yang
diatur oleh Pasal 58 ayat (4) Undang-Undang No. 18 tahun 2009 Tentang
Peternakan dan Kesehatan Hewan.
DAFTAR
PUSTAKA
Buku
Ahmad Rifai, Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Perspektif Hukum Progresif, Sinar
Grafika, Jakarta, 2010.
Algra/Janssen, Rechtsingang, Wolters Noordhoff,
Groningen, 1981.
Kholid Sentosa, Mohamad Natsir : Islam Sebagai Dasar Negara, Sega Asry, Bandung,
2007.
Munafrizal Manan, Penemuan Hukum oleh Mahkamah Konstitusi, Mandar Maju, Bandung,
2012.
Sudikno Mertokusumo, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, Citra
Aditya Bakti, Yogyakarta, 1993.
Van Appledorn, Inleiding tot de studie van het Nederladse Recht, Tjeenk Willink,
Zwolle, 1954.
Perundang-Undangan
Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945
Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan
Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing the World Trade
Organization
Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan
Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
Undang-Undang
Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan
Peraturan
Pemerintah Nomor 22 Tahun 1983 tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner;
Peraturan
Menteri Pertanian Nomor 295/Kpts/TN.240/5/1989 tentang Pemotongan Babi dan
Penanganan Babi dan Hasil Ikutannya
Peraturan
Menteri Pertanian Nomor 381/Kpts/OT.140/10/2005 tentang Pedoman Sertifikasi
Kontrol Veteriner Unit Usaha Pangan Asal Hewan
Peraturan
Menteri Pertanian Nomor 20/Permentan/OT.140/4/2009 tentang Pemasukan dan
Pengawasan Peredaran Karkas, Daging dan Jeroan dari Luar Negeri
[1] Lihat pengantar Lord
Brown-Wilkinson dalam M.Supperstone QC dan J. Goudie QC judicial Review (1992)
London : From a Different Perspective,
juga F. Mount, the British Constitution Now, (1993) London, Mandarin, p.261
[2] Memiliki definisi Produk hewan yang masuk
dalam kategori tidak halal
[3] Van Appledorn, Inleiding tot de studie van het Nederladse Recht, Tjeenk Willink,
Zwolle, 1954, hlm.301
[4] Ahmad Rifai, Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Perspektif Hukum Progresif, Sinar
Grafika, Jakarta, 2010, hlm. 25-26
[5] Algra/Janssen, Rechtsingang, Wolters Noordhoff, Groningen, 1981, hlm. 50
[6] Sudikno Mertokusumo, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, Citra
Aditya Bakti, Yogyakarta, 1993. Hlm. 15
[7] Undang-Undang No. 18 tahun 2009 Tentang
Peternakan dan Kesehatan Hewan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar